Kitab Sutasoma Karya Mpu Tantular Membuat Semboyan Yang Kini Menjadi Semboyan Negara Indonesia Yaitu

Kitab Sutasoma Karya Mpu Tantular Membuat Semboyan Yang Kini Menjadi Semboyan Negara Indonesia Yaitu

Semboyan Bhinneka Tunggal Ika

Semboyan bangsa Indonesia, merupakan kutipan dari Kitab Sutasoma.

Kutipan kata-kata itu diambil pada pupuh 139 bait lima yang berbunyi sebagai berikut.

Rwaneka dhatu winuwus Buddha Wiswa

Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen

Mangka ng Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal

Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa

Pada bait itu dijelaskan bahwa meski Buddha dan Siwa berbeda tetapi dapat tetap dikenali.

Sebab Buddha dan Siwa adalah tunggal, meski berbeda.

Sehingga bila diterjemahkan, kata bhinneka berarti ragam, tunggal berarti satu, dan ika berarti itu.

Jadi, menurut asal kata, semboyan Bhinneka Tunggal Ika memiliki arti berbeda-beda tetapi tetap satu.

Baca Juga: 4 Fungsi Pancasila sebagai Sumber dari Segala Sumber Hukum, Apa Saja?

Nah, kata-kata itu dianggap sesuai dengan kondisi Indonesia yang terdiri dari beragam suku, budaya, dan ras.

Kecocokan itu membuat kata-kata Bhinneka Tunggal Ika dicantumkan dalam lambang negara Garuda Pancasila.

Hingga kini semboyan tersebut masih sesuai dan perlu terus dipelajari serta diamalkan oleh semua masyarakat Indonesia.

Kapan Kitab Sutasoma dibuat?

Petunjuk: cek di halaman 1!

Lihat juga video ini, yuk!

Ingin tahu lebih banyak tentang pengetahuan seru lainnya, dongeng fantasi, cerita bergambar, cerita misteri, dan cerita lainnya? Teman-teman bisa berlangganan Majalah Bobo.

Untuk berlangganan, teman-teman bisa mengunjungi Gridstore.id.

Ikuti juga keseruan rangkaian acara ulang tahun Majalah Bobo yang ke-50 di majalah, website, dan media sosial Majalah Bobo, ya! #50TahunMajalahBobo2023

Artikel ini merupakan bagian dari Parapuan

Parapuan adalah ruang aktualisasi diri perempuan untuk mencapai mimpinya.

Belajar Empati dengan Berbagi, SPK Jakarta Nanyang School Kunjungi Panti Asuhan Desa Putera

Bhinneka Tunggal Ika merupakan semboyan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang dirumuskan oleh para pendiri bangsa. Istilah tersebut diadaptasi dari sebuah kakawin peninggalan Kerajaan Majapahit. Seperti apa sejarahnya?

Semboyan Bhinneka Tunggal Ika pertama kali diungkapkan oleh Mpu Tantular dalam kitabnya, kakawin Sutasoma. Dalam bahasa Jawa Kuno kakawin artinya syair. Kakawin Sutasoma ditulis pada tahun 1851 dengan menggunakan aksara Bali, namun berbahasa Jawa Kuno.

Bahan naskah yang digunakan untuk menulis kakawin Sutasoma terbuat dari daun lontar. Kitab tersebut berukuran 40,5 x 3,5 cm. Sutasoma menjadi sebuah karya sastra peninggalan Kerajaan Majapahit.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dilansir laman Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), kakawin Sutasoma merupakan kitab yang dikutip oleh para pendiri bangsa Indonesia dalam merumuskan semboyan NKRI.

Kutipan frasa 'Bhinneka Tunggal Ika' terdapat pada pupuh 139 bait 5. Berikut bunyi petikan pupuh tersebut:

"Rwaneka dhatu winuwus Buddha Wiswa Bhinneki rakwa ring apan kena parwanosen, Mangka ng Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal, Bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa".

Kalimat di atas artinya "Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda. Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali? Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal. Terpecahbelahlah itu, tetapi satu jugalah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran.

Mpu Tantular mengajarkan makna toleransi antar umat beragama dan dianut oleh pemeluk agama Hindu dan Buddha. Semboyan "Bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa" sendiri digunakan untuk menciptakan kerukunan di antara rakyat Majapahit dalam kehidupan beragama.

Dikutip dari situs resmi Portal Informasi Indonesia, frasa Jawa Kuno tersebut secara harfiah mengandung arti berbeda-beda namun tetap satu jua. Bhinneka artinya beragam, tunggal artinya satu, ika artinya itu, yakni beragam satu itu.

Konon, pendiri bangsa yang pertama kali menyebut frasa Bhinneka Tunggal Ika adalah Moh Yamin. Dia mengucapkannya di sela-sela sidang BPUPKI. Sontak, I Gusti Bagus Sugriwa, tokoh yang berasal dari Bali, menyahut dengan ucapan "tan hana dharma mangrwa".

Dalam pendapat lain, Bung Hatta mengatakan bahwa frasa Bhinneka Tunggal Ika adalah usulan Bung Karno. Gagasan tersebut secara historis diusulkan setelah Indonesia merdeka, saat momen munculnya kebutuhan untuk merancang lambang negara dalam bentuk Garuda Pancasila.

Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 1951 tentang Lambang Negara, Bhinneka Tunggal Ika ditulis dengan huruf latin dalam bahasa Jawa Kuno tepat di bawah lambang negara. Sebagaimana bunyi Pasal 5 sebagai berikut:

"Di bawah lambang tertulis dengan huruf latin sebuah semboyan dalam bahasa Jawa-Kuno, yang berbunyi: BHINNEKA TUNGGAL IKA."

Jadi, semboyan Bhinneka Tunggal Ika pertama kali diungkapkan oleh Mpu Tantular dalam sebuah buku berjudul kakawin Sutasoma.

SuaraJogja.id - Kitab Sutasoma atau kakawin Sutasoma adalah kitab dalam bahasa Jawa kuno.

Kitab Sutasoma adalah kitab termasyhur karena setengah bait kitab ini menjadi motto Indonesia: Bhinneka Ttunggal Ika.

Semboyan ini tidaklah tanpa sebab diambil, melainkan karena artinya yang sangat bermakna.

Beberapa kutipan dari kitab ini adalah: Rwneka dhtu winuwus Buddha Wiswa artinya Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda.

Baca Juga:Kewajiban Umat Muslim Beriman Kepada Kitab-Kitab Sebelum Al Quran

Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen artinya mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali?

Mangka ng Jinatwa kalawan iwatatwa tunggal artinya sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal.

Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa artinya berbeda-beda manunggal menjadi satu, tidak ada kebenaran yang mendua.

Kitab ini dikarang oleh mpu Tantular yang hidup pada masa keemasan Kerajaan Majapahit di bawah pimpinan prabu Rajasanagara atau Hayam Wuruk.

Karya ini diperkirakan dibuat pada tahun 1365 dan pada tahun 1389 saat akhirnya Hayam Wuruk meninggal.

Baca Juga:Kitab Taurat Diturunkan kepada Nabi Musa AS, Bagaimana Isinya?

Selain kitab Sutasoma, mpu Tantular juga menulis kitab Arunawijaya.

Kitab ini dibuat dalam tulisan tangan di atas lontar atau kertas. Kebanyakan berasal dari pulau Bali, namun ada naskah yang dari Pulau Jawa dan memuat “Koleksi Merapi Merbabu” yakni naskah kuno sekitar Jawa Tengah.

Kepopuleran kitab ini adalah karena I Gusti Sugriwa kerap mengajarkannya. Ia adalah sastrawan dari Bali.

Saat ini generasi muda dapat mengilhami Pancasila dan motto bangsa Indonesia yang berasal dari Kitab Sutasoma.

Demikian penjelasan terkait dengan kitab sutasoma karangan mpu Tantular.

Kitab ini berasal dari Pulau Bali, tetapi beberapa naskahnya diketahui berasal dari pulau Jawa.

Kitab ini diterbitkan sekitar akhir abad ke 14 dan masih menjadi bahan pelajaran hingga sekarang.

Eksistensi kitab sutasoma dimulai saat I Gusti Sugriwa, seorang sastrawan asal Bali mempelajarinya lalu mengajarkannya untuk masyarakat sekitar.

Saat ini, perihal populer terkait kitab ini adalah terkait motto negara Indonesia yakni Bhinneka Tunggal Ika yang artinya Berbeda Menunggal menjadi satu atau pengertian yang lebih familiarnya adalah berbeda-beda tetapi tetap satu jua.

Kutipan kitab tersebut menjadi motto bangsa Indonesia dan diharapkan agar warga negara Indonesia tetap mempertahankan kesatuan dan persatuan.

Bobo.id - Saat melihat lambang negara Garuda Pacasila, teman-teman akan menemukan sebuah pita putih bertuliskan semboyan bangsa.

Semboyan bangsa Indonesia itu berbunyi Bhinneka Tunggal Ika yang berasal dari kutipan Kitab Sutasoma.

Nah, tahukah teman-teman kitab Sutasoma itu? Kali ini, pada materi PPKn kurikulkum merdeka kelas VII SMP, kita mengenal tentang kitab tersebut.

Kitab Sutasoma merupakan salah satu karya sastra karya Mpu Tantular yang dibuat pada abad ke-14.

Kitab atau dikenal juga dengan nama kakawin ini dibuat pada masa keemasan Kerajaan Majapahit, lo.

Saat kitab itu dibuat Kerajaan Majapahit tengan di bawah kekuasaan Prabu Hayam Wuruk, dengan wilayah kekuasaan yang sangat luas.

Menurut sejarah, kitab ini pernah digubah antara tahun 135 dan 1389.

Kitab Sutasoma ini berisi tentang Pangeran Sutasoma serta berbagai ajaran tentang toleransi beragama, yang saat itu terjadi antara agama Hindu dan Buddha.

Mpu Tantular membuat kitab ini dengan aksara Bali dalam bahasa Jawa Kuno dan ditulis di atas daun lontar.

Daun lontar yang digunakan berukuran 40,5 x 3,5 cm yang berisi 1.210 bait dalam 148 pupuh.

Lalu seperti apa sisi dari Kitab Sutasoma ini? Berikut akan dijelaskan singkat tentang isi dari Kitab Sutasoma.

Baca Juga: 25 Contoh Perilaku yang Mencerminkan Nilai-Nilai dalam Pancasila, Materi PPKn

Seperti disebut sebelumnya, Kitab Sutasoma berisi tentang sosok Pangeran Sutasoma.

Pangeran Sutasoma adalah putra dari Prabu Mahaketu yang berasal dari Kerajaan Astina.

Sosok Pangeran Sutasoma menyukai ajaran Buddha Mahayana dan enggan menggantikan ayahnya menjadi raja.

Karena itu, ia melakukan semedi di sebuah candi hingga mendapat anugerah.

Lalu pada kakawin itu diceritakan perjalanan Pangeran Sutasoma menuju Himalaya bersama para pendeta.

Pada perjalanan itu, Pangeran Sutasoma bertemu dengan banyak tokoh dari raksasa hingga hewan-hewan buas.

Dari berbagai pertemuan itu, Pangeran Sutasoma menunjukan sikap yang baik hingga rela berkorban.

Perjalanannya itu berakhir membawa Pangeran Sutasoma bersedia menjadi raja dengan gelar Prabu Sutasoma.

Selama menjadi raja, Prabu Sutasoma juga menunjukan banyak sikap baik, termasuk sikap rela berkorbannya.

Bahkan ia rela dimakan Batara Kala agar 100 raja lain selamat.

Nah, dari cerita itu ada kata-kata yang dikutip dan dijadikan semboyan bangsa Indonesia.

Baca Juga: Mengenal Arti Warna pada Lambang Garuda Pancasila, Materi Kelas 3 SD Tema 8

Berikut akan dijelaskan tentang kutipan kata-kata yang jadi semboyan bangsa tersebut.