Jumlah Harta Jokowi
Kali ini, saya mau berbagi tips tentang seputar jumlah kata, jumlah karakter dan jumlah halaman itu. Karena setiap media atau penerbit persyaratannya berbeda-beda mengenai naskah. Ada persyaratannya sesuai jumlah kata, ada yang menentukan jumlah karakter, dan ada yang menentukan naskah dengan jumlah halaman.
Soalnya, inilah salah satu syarat yang harus kita penuhi untuk naskah kita. Kita harus menyesuaikan dengan keinginan media atau penerbit. Kalau Mereka minta naskah kita sesuai jumlah kata, maka jangan berpatokan jumlah halaman. Begitu juga kalau mereka minta naskah sesuai jumlah karakter, tidak usah berpatokan sesuai jumlah kata.
Biar lebih jelas, terang benderang laksana bulan purnama, yuk, simak tips berikut ini soal. Biar naskah teman-teman tidak ditolak, hanya karena salah tentang persyaratan ini.
Misalnya syarat naskah cerita antara 600-700 kata. Maka patokan naskah yang kita tulis lebih 600 kata, dan tidak boleh lebih 700 kata. Namun sesuai pengalaman saya, 700 kata itu bukan harga mati (istilah saya). Maksudnya, kita boleh kok menulis lebih sedikit di atas 700 kata. Misalnya 720 kata, 735 kata, atau 740 kata. Jangan karena naskahnya kelebihan kata sedikit, lalu harus dipaskan maksimal 700 kata. Itu akan mengurangi keindahan cerita kita.
Untuk persyaratan naskah yang mengharuskan sesuai karakter, maka perlu diperhatikan juga. Karena karakter itu ada dua macam. Jumlah Karakter dengan spasi, dan jumlah karakter tanpa spasi. Jadi sesuaikan kembali dengan persyaratan media atau penerbit.
Misalnya penerbit memberi syarat 5200 karakter with spasi. Berati naskah kita harus 5200 karakter dengan spasi. Bukan 5200 karakter tanpa spasi. Karena akan beda. Begitu juga kalau syaratnya 5200 dengan spasi, maka sesuaikan kembali.
Nah, 5200 karakter itu bukan harga mati. Bisa kok kurang 5200 karakter. Misalnyya 5100 karakter atau 5150 karakter. Boleh juga lebih. Misalnya 5250 atau 5300 karakter. Karena kalau 5200 pas, pasti sangat susah. Tepatnya susah sekali hehehe....
Tapi jangan lupa. Kalau syarat pengiriman berdasarkan jumlah halaman, maka diperhatikan spasi, dan jenis huruf yang jadi persyaratannya. Karena beda spasi, dan beda jenis huruf, jelas akan mempegaruhi jumlah halaman. Juga perlu diperhatikan jenis kertas yang diminta. Apa A4 atau folio atau kuarto. Karena ukuran kertas kan berbeda. Otomatis akan mempengaruhi jumlah halaman.
Misalnya syaratnya naskah antara 15 -25 halaman, spasi 1,5 time news roman pt 12, kertas A4. Ikuti persyaratan. Jangan mencoba pakai spasi 2 spasi. Karena akan berbeda kepadatan isi cerita kita
Rumus Jumlah Kata, Jumlah Halaman, dan Jumlah Spasi
Cara paling jitu agar naskah kita sudah sesuai syarat yang sudah ditentukan media atau penerbit, ya mengikut syarat yang mereka tentukan. Karena itu tadi, setiap media atau penerbit mempunyai masing-masing syarat. Ada yang syaratnya jumlah halaman, ada yang syaratnya jumlah kata, ada yang syaratnya jumlah karakter baik pakai spasi atau non spasi.
Biar teman-teman semakin memahami syarat penulisan naskah, maka perhatikan rumus berikut :
Maka teman-teman fokus menulis naskah sesuai dengan jumlah katanya. Misalnya syaratnya 1000 kata, maka tidak perlu memikirkan berapa jumlah halaman atau berapa jumlah karakternya. Soalnya jumlah halaman dan kaeakter akan mengikuti saat dicek. Tapi tetap perhatikan spasi dan ukuran kertas yang diminta sesuai syarat.
Maka teman-teman sejak awal menulis sudah mematok ceritanya bakal sekian halaman. Misalnya syaratnya 10 halaman, nah dalam 10 halaman ini, seluruh muatan cerita harus masuk. Tetap perhatikan syarat spasi-nya. Karena itu tadi, beda spasi. Mempengaruhi jumlah halaman.
Nah, teman-teman tidak perlu memikirkan jumlah halaman dan kata. Tulis saja ceritanya sambil sesekali dicek sudah berapa karakter.
Perhatikan Syarat Spasi dan ukuran Kertas
Setelah fokus pada satu syarat, entah itu syaratnya jumlah kata, jumlah halaman atau jumlah karakter, nah jangan lupa juga perhatikan syarat spasinya. Karena setiap penerbit dan penulis kadang berbeda. Ada yang pakai spasi 1, spasi 1,5, atau spasi 2.
Ini sangat berpengaruh saat syaratnya jumlah halaman. Saat teman-teman menggunakan spasi 1, spasi 1,5 atau spasi 2, maka jumlah halamannya akan berbeda. Misalnya jumlah katanya sama-sama 1000 kata. Nah, kalau pakai spasi 1,5 mungkin hanya 5 halaman, sedangkan saat menggunakan spasi 2, maka halamannya melebar jadi 7-8 halaman.
Ukuran kertas juga sangat mempengaruhi. Jadi teman-teman perhatikan kembali ukuran kertas apa yang disyaratkan media atau penerbit. Pastinya ukuran kertas kuarto, A4, atau Folio akan mempenagruhi jumlah kata dan karakter.
Misalnya, 1 halaman A4 itu 200 kata, sedangkan 1 halaman polio itu bisa 300-350 kata. Ini karena ada syarat lain yang mengikuti, yaitu spasi dan ukuran kertas yang sudah ditentukan. Beda kata, jelas mepengaruhi jumlah karakter juga.
Lagi Pembahasan Seputar Antara Jumlah Kata, Jumlah Halaman, dan Jumlah karakter
Jadi saat akan mengirim naskah ke media atau penerbit, maka teman-teman harus perhatikan kembali syarat yang diajukan. Apakah syarat yang dicantumkan itu naskah harus ditulis sekian kata, sekian halaman, atau sekian karakter. Bahkan karakter ini ada dua. Tanpa spasi atau dengan spasi.
Karena berbeda, makanya syarat ini mutlak harus teman-teman ikuti. Kalau mintanya jumlah halaman, misalnya jumlah halaman 4-6 halaman, maka kirim naskah antara 4,5 atau 6 halaman. Jangan malah mengirim naskah di kurang dari 3 halaman, dan lebih dari 6 halaman.
Begitu juga saat syaratnya naskah ditulis 1000 karakter. Maka bukan ditulis 1000 kata atau bahkan 1000 halaman hehehe. Karena syaratnya mutlak harus dipenuhi, kapan tidak sesuai, biar naskahnya bagus ya, akan ditolak.
Saat menulis sebuah naskah dan sudah tahu apa syaratnya, maka tidak perlu mebandingkan Jumlah kata, jumlah halaman dan jumlah karakter. Misalnya seperti tadi, 600 kata berapa halaman? 1000 karakter berapa kata?
Jadi fokus pada syarat yang telah ditentu. Misalnya syaratnya 4-6 halaman, maka fokus menulis cerita sepanjang halaman itu. Tidak perlu berpikiran, ini cerita saya sudah berapa kata, ya? Cerita saya sudah berapa karakter, ya? Akhirnya sedikit-sedikit dicek. Menulis baru setengah halam dicek. Akhirnya menunda proses menulis naskahnya.
Harta Karun Lanun Harta Karun Kanak-Kanak Mainan Syiling Emas Mainan Harta Karun Jualan langsung pihak kilang
Offenbar hast du diese Funktion zu schnell genutzt. Du wurdest vorübergehend von der Nutzung dieser Funktion blockiert.
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati angkat bicara soal kenaikan jumlah orang miskin di Indonesia di tahun 2024.
Dalam catatannya, ada sekitar 25,22 juta orang miskin di tahun 2024. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah orang miskin sebelum terjadinya pandemi di mana terdapat sekitar 25,14 juta orang miskin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Kalau dilihat dari jumlah orangnya, memang keliatan 25,22 karena dari 2019 sampai 2024 terjadi pertumbuhan penduduk Indonesia,” kata Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR, pada Rabu, 13 November 2024.
Sri Mulyani mengatakan, secara persentase, angka kemiskinan di Indonesia telah turun. Saat ini, persentase kemiskinan di Indonesia ada di level 9,03 persen.
Angka ini lebih baik dibandingkan tahun lalu yang berada di level 9,36 persen dan di tahun 2019 atau pra-pandemi yang sekitar 9,41 persen.
“Berarti telah terjadi perbaikan, kita telah kembali di bawah pra-pandemi level,” ucapnya.
Tingkat ketimpangan ekonomi, klaim Sri Mulyani, juga semakin rendah. Hal ini dapat dilihat dari indeks Gini Ratio yang tahun ini ada di level 0,379. Level ini selain lebih rendah dibanding masa pra-pandemi, namun juga menjadi yang terendah selama satu dekade terakhir.
“Gini coefficient kita juga sudah membaik, bahkan dibandingkan kondisi before atau sebelum pandemi,” ujar Sri Mulyani.
Sebelumnya, ekonom Bright Institute, Awalil Rizky, mengatakan bahwa kondisi masyarakat Indonesia saat ini sudah terlalu miskin. Kondisi ini kemudian membuat masyarakat terpaksa untuk bekerja karena sangat tidak mungkin untuk bertahan dalam kondisi menganggur.
Hal ini, kata Awalil, ditunjukkan dengan meningkatnya angka setengah pengangguran, angka pekerja di sektor pertanian, maupun angka pekerja keluarga.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2024 bila dibandingkan dengan Maret 2023 mengalami penurunan sekitar 0,68 juta orang. Namun bila dilihat lebih jauh, dari sisi garis batas kemiskinannya terlihat mengalami kenaikan.
Garis Kemiskinan pada Maret 2024 adalah sebesar Rp 582.932 per kapita per bulan. Angka ini naik 5,9 persen dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya atau year on year (yoy).
Cara mengecek Jumlah Kata dan Karakter
Cara mengeceknya cukup mudah kok. Klik saja word di bawah kiri saat kita mengetik. Maka akan terlihat berapa jumlah kata, berapa jumlah karakter pada naskah kita. Kalau halaman kan, bisa dengan mudah kita tau hehehe.
Nah, sekarang sudah tidak bingung lagi ya, antara jumlah kata, jumlah karakter dan jumlah halaman. Jadi nanti teman-teman sudah bisa menyesuaikan dengan syarat yang diminta media atau penerbit. Yuk, kembali semangat menulis. Salam menulis teman-teman...
Oleh Ustadz Dr. Erwandi Tarmidzi
Pegertian Harta Haram Yang dimaksud dengan harta haram adalah setiap harta yang didapatkan dari jalan yang dilarang syariat[1].
Faktor Penyebab Akad Menjadi Tidak Sah Dan Hassilnya Merupakan Harta Haram Ada 3 faktor yang menyebabkan sebuah akad tidak sah sehingga hasilnya menjadi harta haram, yaitu: riba, gharar dan zhulm.
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Sebuah akad yang tidak mengandung unsur gharar, riba dan zhulm tidak mungkin diharamkan syariat[2].”
Ibnu Utsaimin rahimahullah juga mengatakan, “Faktor penyebab muamalat diharamkan adalah riba, zhulm dan gharar“[3].
Berikut ini akan dijelaskan secara ringkas pengertian faktor-faktor penyebab muamalat menjadi diharamkan.
1. Riba Secara bahasa riba artinya bertambah, sedangkan menurut istilah riba adalah menambahkan beban kepada pihak yang berhutang, atau menambahkan takaran saat melakukan tukar-menukar 6 komoditi (yaitu emas, perak, gandum, sya’ir, kurma dan garam) dengan jenis yang sama, atau tukar-menukar emas dengan perak dan makanan dengan makanan dengan cara tidak tunai.
Riba terbagi menjadi :
2. Gharar Secara bahasa gharar berarti resiko, tipuan, dan menjatuhkan diri atau harta ke jurang kebinasaan. Secara istilah gharar adalah jual beli yang tidak jelas kesudahannya. Sebagian Ulama mendefinisikannya dengan jual-beli yang konsekuensinya antara ada dan tidak.
Jenis gharar yang diharamkan: a. Nisbah (prosentase) gharar dalam akad itu besar Jika nisbah (prosentase) gharar yang ada dalam sebuah akad sangat besar maka akad ini diharamkan. al-Bâji berkata, “Gharar dalam jumlah besar, yaitu rasionya dalam akad terlalu besar sehingga orang mengatakan bahwa jual-beli ini adalah jual-beli gharar.”
b. Keberadaan gharar dalam akad itu mendasar. Jika keberadaan gharar dalam akad merupakan pokok dari akad tersebut, maka akad ini menjadi haram. Ibnu Qudâmah rahimahullah berkata, “Gharar yang terdapat pada akad yang statusnya sebagai pengikut dibolehkan … seperti: menjual kambing yang sedang menyusui (menjual susu dalam kantung susu hewan mengandung unsure gharar, akan tetapi dibolehkan karena statusnya hanyalah sebagai pengikut dalam transaksi), hewan ternak bunting (menjual janin di dalam perut induknya mengandung gharar, akan tetapi dibolehkan karena statusnya hanya sebagai pengikut dalam transaksi) … dan tidak boleh bila dijual terpisah (seperti menjual janin hewan ternak saja yang masih berada dalam perut induknya)“.
c. Akad yang mengandung gharar itu bukan termasuk akad yang dibutuhkan orang banyak. Dibolehkan melakukan akad yang mengandung gharar jika akad tersebut dibutuhkan orang banyak, sedangkan jika sebaliknya maka akad menjadi haram. Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Bila akad yang mengandung gharar sangat penting, bila dilarang akan sangat menyusahkan kehidupan manusia maka akadnya dibolehkan“.
d. Gharar yang terjadi pada akad jual-beli. Boleh melakukan akad yang mengandung gharar jika akad tersebut terjadi pada hibah/wasiat, sedangkan untuk akad-jual beli hukumnya dilarang.
3. Zhalim Zhulm berasal dari bahasa Arab yang berarti menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya. Dalam bahasa Indonesia biasa diterjemahkan dengan berbuat zhalim.
Menurut istilah zalim berarti mengerjakan larangan serta meninggalkan perintah Allâh Azza wa Jalla . Dengan pengertian ini, maka setiap perbuatan yang melampaui ketentuan syariat adalah perbuatan zhalim yang diharamkan, baik dengan cara menambah atau mengurangi.
Penggunaan Harta Haram Jika seseorang mengetahui dan menyadari bahwa tenyata pada sebagain hartanya ada harta haram maka yang harus kita lakukan adalah bertaubat kepada Allâh Azza wa Jalla . Untuk menyempurnakan taubatnya hendaklah ia mengeluarkan seluruh harta haram tersebut karena hakikatnya harta haram bukan miliknya.
Al-Ghazali rahimahullah berkata dan dinukil oleh Imam Nawawi rahimahullah bahwa itu merupakan pendapat Ulama Syâfi’iyyah, “Barangsiapa hanya memegang harta haram, maka ia tidak ada kewajiban berhaji, tidak ada kewajiban membayar kafarat karena ia diangggap tidak memiliki harta, tidak wajib zakat, karena zakat dikeluarkan dari 1/40 harta, sedangkan pemegang harta haram wajib mengeluarkan seluruh harta haram dengan cara dikembalikan kepada pemiliknya jika diketahui keberadaannya atau dibagikan kepada fakir miskin jika pemiliknya tidak diketahui.”[4]
Tata Cara Bertaubat Dari Harta Haram Berikut ini rincian cara bertaubat dari harta haram: 1. Cara Bertaubat Dari Harta Haram Yang Merupakan Hasil Dari Muamalat Yang Dilakukan Tanpa Saling Ridha Dan Keberadaan Pemiliknya Yang Sah Masih Diketahui Cara bertaubat dari barang atau uang hasil muamalat jenis ini adalah dengan cara mengembalikan barang atau uang kepada pemiliknya. Berdasarkan uraian ini, maka uang hasil korupsi wajib dikembalikan kepada pihak yang dirugikan, uang hasil jual-beli dengan cara penipuan wajib dikembalikan selisih antara harga normal dengan harga yang dijual kepada pembelinya, begitu juga dengan jual-beli barang dengan cara terpaksa[5].
Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
عَلَى الْيَدِ مَا أَخَذَتْ حَتَّى تُؤَدِّيَ
Tangan yang mengambil barang orang dengan cara yang tidak diridhainya wajib menanggung barang tersebut hingga dikembalikan kepada pemiliknya. [HR. Ahmad. Menurut al-Arnauth derajat hadis ini Hasan lighairihi]
Barang atau uang yang didapat dengan muamalat tanpa saling ridha wajib dikembalikan jika diketahui pemiliknya dan masih ada barangnya serta belum terjadi perubahan pada bentuk fisiknya.
Jika barang atau uang tersebut lenyap sama sekali, maka untuk kesempurnaan taubatnya dia harus menggantinya atau meminta pemilik hak merelakannya.
.Jika terjadi perubahan pada barang, maka perubahan itu terjadi dalam beberapa bentuk : a. Perubahan yang menyebabkan nilai barang menjadi berkurang. Pada kondisi ini orang yang berbuat dosa tadi hendaknya menyerahkan barang yang telah berubah nilainya itu serta memberikan ganti rugi sesuai dengan kekurangan atau penyusutan nilai barang tersebut. b. Perubahan yang menyebabkan nilai barang menjadi bertambah, seperti kambing menjadi lebih gemuk atau beranak. Pada kondisi ini, menurut salah satu pendapat dalam mazhab Hambali bahwa nilai tambah dari barang tersebut adalah milik kedua belah pihak yang harus dibagi rata. Pendapat ini lebih adil.
Jika terjadi perubahan pada uang, maka perubahan itu ada dua macam : a. Jumlah uangnya berkurang. Dalam kondisi ini, pelaku kezhaliman berkewajiban menambahnya atau meminta keikhlasan pihak yang dirugikan. b. Jumlah uangnya bertambah, disebabkan pemilik yang tidak sah ini mengembangkannya dalam bentuk usaha, seperti seorang koruptor menginvestasikan uang hasil korupsinya dan mendapatkan laba yang banyak. Pada saat dia bertaubat, apakah modal dan keuntungan semuanya diserahkan kepada pemilik yang yang sah ? Dalam hal ini sebagian Ulama berpendapat bahwa modal dikembalikan kepada pemilik yang sah. Adapun keuntungan dibagi dua antara pemilik yang sah dan pengembang. Pendapat ini didukung oleh Ibnu Taimiyah rahimahullah dan Ibnu Qayyim rahimahullah.
Pendapat ini berdalil dengan kisah mudhârabah antara Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma dengan modal harta negara yang dititipkan oleh Abu Musa al Asy’ari Radhiyallahu anhu.
Dari atsar ini dapat diambil hukum bahwa keuntungan dari usaha yang modalnya berasal dari harta milik orang lain merupakan milik bersama antara pemilik modal yang sah dan pengembang modal yang keberadaan modal di tangannya tidak sah.
Harta Haram Dari Hasil Muamalat Yang Tidak Saling Ridha dan Tidak Diketahui Keberadaan Rekan Transaksinya Harta haram yang didapat dengan jalan tidak saling ridha antara dua orang yang bertransaksi dan tidak diketahui lagi keberadaan rekan transaksinya, serta tidak memungkinkan untuk mengembalikan barang atau uang kepada pemiliknya yang sah, maka untuk kesempurnaan taubat pemegang harta haram ini hendaklah menyedekahkan barang atau uang itu kepada para fakir-miskin, atau untuk pembangunan fasilitas umum dan untuk kemaslahatan lainnya. Dengan syarat sedekah diniatkan atas nama pemilik barang atau uang yang sah. Jika nanti di kemudian hari pemiliknya diketahui hendaklah ia memberikan pilihan kepadanya antara rela dengan uangnya yang telah disedekahkan atau ia menggantinya dan sedekah berubah menjadi miliknya (atas namanya).
Pendapat ini berdasarkan atsar dari Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu anhu bahwa ia membeli seorang budak. Lalu Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu anhu membawa budak itu masuk ke rumah, kemudian ia menimbang uang emas sebagai harga budak tersebut.
Pada saat Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu anhu keluar untuk menyerahkan uang kepada penjual budak, ia sudah tidak menemukan lagi penjual budak itu. Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu anhu berusaha mencari serta menunggu penjual budak selama setahun. Setelah satu tahun berlalu, ia tidak juga menemukannya. Lalu ia sedekahkan uang harga budak itu seraya berkata, “Ya Allâh , sedekah ini atas nama pemilik budak, jika nanti dia datang maka akan aku beri dia pilihan antara sedekah tetap menjdi miliknya atau menjadi milikku dan aku ganti uangnya“. [HR. Bukhari].
2. Cara Bertaubat dari Harta Haram Hasil Muamalat yang Dilakukan atas Dasar Saling Ridha Orang yang mendapatkan barang atau uang hasil muamalat atas dasar saling ridha, tetapi bentuk muamalatnya diharamkan Allâh Azza wa Jalla , seperti pemberi dan pemakan harta riba saling ridha dalam akad riba yang mereka lakukan; Atau dua orang yang mengadu nasib dalam perjudian (akad gharar) saling ridha apapun yang terjadi; Atau dua orang yang saling ridha melakukan transaksi sogok-menyogok; Atau dua orang yang saling ridha melakukan jual-beli benda-benda najis atau yang diharamkan. Para pelaku muamalat haram ini terkadang tidak tahu bahwa muamalat yang dia lakukan hukumnya haram, dan terkadang ia tahu, tetapi sengaja ia langgar.
a. Untuk orang yang tidak tahu bahwa muamalat yang dia lakukan hukumnya adalah haram, maka cara bertaubatnya saat ia mengetahui muamalat ini diharamkan adalah ia wajib berhenti dan tidak mengambil barang atau uang yang belum diserahkan rekan transaksi kepadanya bahwa pada.
Adapun barang atau uang yang telah diterima dan telah digunakannya selama ini adalah miliknya dan ia tidak berdosa karena ia tidak mengetahui hukumnya dan semoga Allâh mengampuni kelalaiannya.
Ini berdasarkan firman Allâh Azza wa Jalla :
وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَواج فَمَنْ جَاءَهُ, مَوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّهِ فَانتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلىَ اللهِ
Allâh telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu ia berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allâh Azza wa Jalla . [al-Baqarah/2:275]
Ayat ini menjelaskan bahwa harta hasil riba yang telah diterima dan telah digunakan sebelum riba diharamkan tetap menjadi milik yang menerima. Dan hukum orang yang tidak tahu bahwa hukum riba adalah haram sama dengan orang yang belum diturunkan kepadanya ayat yang melarang riba.
Maka secara implisit ayat ini berarti bahwa harta riba yang belum diterimanya tidak halal lagi semenjak larangan turun atau semenjak ia mengetahui hukumnya adalah haram.[6]
b. Orang yang Tahu Bahwa Muamalat yang Ia Lakukan Hukumnya Haram Untuk orang yang mengetahui bahwa muamalat yang dia lakukan hukumnya haram namun sengaja ia langgar, maka cara bertaubat dari barang atau uang hasil muamalat jenis ini adalah dengan cara tidak mengambil barang atau uang yang belum diserahkan lawan transaksi kepadanya.
Adapun barang atau uang yang telah diterima atau yang telah habis digunakan maka ia wajib memperkirakan nilainya dan menggantinya, lalu disedekahkan untuk fakir miskin atau kepentingan fasilitas umum, atau untuk baitul maal (kas negara) dalam rangka membersihkan dirinya dari dosa harta haram dan bukan disedekahkan atas nama orang yang memberikannya. Karena status harta tersebut bukan lagi milik si pemberinya. Status baru ini berlaku sejak ia memberikannya dengan suka-rela atas imbalan yang dia dapatkan, meskipun imbalan tersebut hukumnya haram.
Ini berdasarkan atsar dari Umar bin Khattab Radhiyallahu anhu bahwa ia juga pernah menyita harta para gubernurnya yang dianggap haram lalu ia masukkan ke baitul maal.[7]
Ini menunjukkan bahwa harta haram dimasukkan ke baitul mal yang akan digunakan untuk kemaslahatan umat.
Dan juga boleh diberikan kepada fakir miskin berdasarkan atsar yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu anhu tentang sedekahnya dari harta haram.
Namun, jika kondisi penerima harta haram yang didapat dari transaksi haram yang berdasarkan asas saling ridha adalah seorang fakir miskin maka ia boleh mengambilnya untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, hingga ia mendapatkan harta yang halal.
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Bila harta haram diberikan kepada orang miskin, maka harta itu tidak menjadi haram lagi di tangannya. Status harta itu ditangannya halal lagi baik. Dan jika pemegang harta haram adalah seorang yang miskin maka ia boleh mensedekahkan harta tersebut untuk dirinya dan juga keluarganya, karena pada diri mereka juga terdapat status kemiskinan, bahkan mereka lebih pantas untuk mendapat harta tersebut“[8].
Ibnu Maudûd berkata, “Harta haram haruslah disedekahkan, jika ia gunakan untuk keperluan pribadinya dan dia adalah orang kaya ia mesti bersedekah dengan sejumlah harta tersebut, dan jika dia adalah orang miskin maka ia tidak perlu bersedekah.”[9]
Ibnu Taimiyah rahimahullah juga berkata, “Barangsiapa mendapatkan harta melalui usaha yang haram dan diserahkan dengan hati rela oleh orang yang memberinya, seperti uang hasil menjual arak, uang hasil perzinahan dan upah meramal nasib maka pendapat Ibnu Taimiyah rahimahullah adalah jika dia tidak mengetahui hukum transaksi tersebut haram saat melakukannya, kemudian ia tahu hukumnya haram dan bertaubat maka harta itu halal dimakannya.
Tetapi, jika ia tahu bahwa hukumnya haram sejak awal transaksi kemudian dia bertaubat maka hendaklah ia mensedekahkan harta tersebut, dan harta itu halal bagi orang miskin yang menerima sedekahnya … Dan jika dia sendiri berstatus fakir miskin maka ia boleh mengambil sekedar menutupi kebutuhan pokoknya.”[10]
Ibnu Rajab berkata, “Harta yang harus disedekahkan karena pemiliknya tidak diketahui, seperti harta perampokan dan titipan … menurut qadhi Abu Ya’la boleh dimakan jika pemegang harta tersebut adalah seorang fakir miskin.”[11]
Demikian uraian singkat tentang harta haram, penggunaannya dan cara bertaubat darinya. Semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan tulisan ringkas ini bermanfaat bagi kita semua.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XVI/1433H/2012M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079] _______ Footnote [1] Dr. Khalid Al Mushlih, at-Taubah minal Makâsib al Muharramah wa Ahkamuha fil fiqh al Islami, Journal kementrian keadilan, Arab Saudi, edisi 38, Rabiul akhir 1429H, hlm. 13. [2] I’lâm al Muwaqqi’in, III/311. [3] Al-Mumti’ IX/53. [4] Ihya’ Ulumuddin, II/134. [5] Dr. Khalid al Mushlih, At taubah minal makasib al muharramah wa ahkamuha fil fiqh al Islami, Journal kementrian keadilan, Arab Saudi, edisi 38, Rabiul akhir 1429H, hlm. 13. [6] Dr. Khalid al Mushlih, at-Taubah minal Makasib al Muharramah wa Ahkamuha fil fiqh al Islami, Journal kementrian keadilan, Arab Saudi, edisi 38, Rabiul akhir 1429H, hlm. 35. [7] Dr. Abbas al Bâz, Ahkam al Mâl haram fi fiqhil Islami, hlm. 345-346. [8] Syarh al Muhazzab, IX/351. [9] al Ikhtiyar li ta’lil al Mukhtar, III/61. [10] al Fatawa al Kubra, V/421. [11] al qawa’id, hlm. 129-130.
Bulan ini, ternyata yang paling banyak dibaca teman-teman saat berkunjung ke blog saya adalah artikel berjudul Antara Jumlah Kata, Jumlah karakter dan jumlah halaman. Tentu saja suprais juga bagi saya, karena itu artikel saya tulis dan posting sekitar 2 tahun lalu. Bahagianya, karena apa yang saya bagikan, bisa bermanfaat bagi teman lain.
Nah, saat saya telusuri, ternyata yang banyak diketik orang di pencarian itu menang perbandingan
. Misalnya, 600 kata berapa halaman? Atau 1000 karakter berapa kata?
Sebenarnya, jawaban ini mudah saja didapat saat kita membuka file naskah. Tapi, biar lebih jelasnya, saya akan sharing kembali antara jumlah kata, jumlah karakter dan jumlah halaman. Pastinya, ini saya susun berdasarkan pengalaman menulis saya yang masih seuprit hehehe.
Cara Mengecek Jumlah Kata, Jumlah Halaman dan Jumlah Karakter
Pastinya sudah banyak teman-teman yang mengetahui cara cek jumlah kata, jumlah halaman, dan jumlah karakter , ya. Tapi dari penyelusuran di internet yang ditulis, 600 kata berapa halaman, atau 1000 karakter berapa kata, ini menunjukkan masih ada yang belum paham cara mengeceknya.
Jadi caranya sangat mudah. Jadi saat file naskah teman-teman terbuka, lalu klik word saja yang ada di bagian kiri bawah.
Nah, begitu diklik, akan terlihat jumlah kata, jumlah halaman dan spasi.jadi teman-teman tinggal sesuaikan sajadengan syaratnya. Apakah jumlah kata, jumlah halaman atau jumlah karakter.
Nah, sekian dulu pembahasan seputar jumlah kata, jumlah halaman dan jumlah karakter. Semoga bermanfaat ya, teman-teman. Semua saya auaun berdasarkan pengalaman menulis saya yang hanya seuprit hehehe.